Belajar Sistem Perekrutan Guru dari Negara Tetangga
Sistem rekrutmen guru yang baik adalah salah satu kunci dalam pencetakan pendidik yang berkualitas. Diikuti dengan penerapan standar pendidikan sesuai dengan hukum. Ini adalah topik di Seminar Internasional Tentang Sistem Pendidikan di Asia Tenggara, yang diselenggarakan oleh Menteri Pendidikan Organisasi Asia Tenggara (SEAMEO) di Jakarta, Kamis (10/8). Selama ini, di sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara, perekrutan dan pelatihan guru belum mencapai tingkat yang ideal bagi guru yang membutuhkan pemenuhan mendesak.
"Di Malaysia, 40 persen dari siswa yang ditawarkan terbaik untuk menjadi seorang guru," kata Azian TS Abdullah, Anggota Dewan SEAMEO Qitep (Pusat Peningkatan Mutu Guru dan Tenaga Pendidikan) cabang Malaysia bertanggung jawab atas bidang Sains. Dia diuraikan bahwa meskipun siswa pintar dan tertarik untuk menjadi guru, mereka tidak secara otomatis di angkat jadi guru. Mereka harus melalui serangkaian ujian tertulis dan wawancara untuk melihat apakah mereka benar-benar memiliki kemampuan dan semangat untuk mendidik.
Hal ini juga dinyatakan oleh Irine Tan, Anggota Dewan SEAMEO Qitep Singapura dalam bidang Sains. Siswa yang mencapai urutan 30 persen yang terbaik diundang untuk menjadi seorang guru. "Ada juga bidang yang tidak memerlukan gelar sarjana, misalnya, untuk menjadi guru olahraga, musik, dan desain. Namun, mereka benar-benar harus memiliki keahlian yang terjamin untuk bidang-bidang itu," kata Irine.
Sebelum mereka diangkat sebagai guru, kata Irine, mereka harus melalui proses pelatihan intensif. Pada saat latihan dilakukan simulasi berbagai skenario dan kemungkinan pendidikan yang sering terjadi bahwa calon guru benar-benar memahami konsep materi, emosional, dan pendidikan teknis. "Tidak semua peserta bisa lulus dari pelatihan ini. Pada akhirnya, mereka yang lolos adalah mereka yang terbukti kompeten untuk menjadi seorang pendidik," katanya.
Implementasi Sistem
Di Indonesia, sebenarnya memiliki banyak peraturan tentang standar pendidikan dan pendidikan tenaga. Misalnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen. "Masalahnya adalah penerapan standar tersebut tidak optimal mengingat jumlah sekolah di Indonesia yang banyak, fasilitas tidak cukup, dan kepentingan politik lokal," kata Sediono Abdullah, Anggota Dewan matematika SEAMEO Qitep Indonesia. Oleh karena itu, koordinasi dan sinergi di antara para pemangku kepentingan, pembuat kebijakan dan pengguna listrik di pendidikan pusat dan daerah perlu ditingkatkan. Kesadaran bahwa standar bertujuan untuk memaksimalkan kualitas pendidikan juga harus ditekankan kepada kementerian pendidikan di Indonesia sehingga perekrutan guru dapat dikontrol dari segi kuantitas dan kualitas
Sumber: print.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar