Makna Filosofis “Adat Bak Po Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala”
obrolanguruku.blogspot.com - Makna Filosofis “Adat Bak Po Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala” Bagi anada mahasiswa Fakultas Hukum Univesitas Syiah Kuala (USK), tulisan “Adat Bak Po Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala” bukanlah kalimat yang asing, karena tulisan itu terpampang jelas di dinding depan pintu masuk utama Fakultas Hukum USK atau sebelumnya di kenal dengan Unsyiah.
"Adat bak poteumeureuhom, Hukom bak syiah kuala
Kanun bak putroe phang, Reusam bak laksamana."
Banyak pendapat muncul terkait makna filosofis dari hadih maja Aceh di atas, namun sebelum membahas lebih lanjut tentang makna filosofi dari hadih maja di atas, ada baiknya kita membahas dahulu definisi adat. Adat merupakan nilai atau norma, kaidah kebiasaan atau keyakinan suatu kelompok masyarakat yang masih dipelihara, dihayati atau ditaati bersama. Lalu siapakah Poteumeureuhom itu? Poteumeureuhom adalah sebutan bagi pemegang kekuasaan eksekutif atau raja penguasa tanah Aceh. Jadi adat merupakan kebudayaan yang keputusannya mutlak berada di tangan para Raja atau para sultan sebagai penguasa di Kerajaan Aceh. Keputusan adat kebudayaan ini biasanya di cetuskan melalui lembaran – lembaran khususnya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Selanjutnya Hukom Bak Syiah Kuala, siapakah sebenarnya Syiah Kuala itu sehingga punya kuasa mengeluarkan fatwa hukum , hukum yang di maksud disini adalah hukum islam karena pada masa pemerintahan Kerajaan Aceh, ketetapan hukum negara adalah hukum islam yang kaffah berdasarkan Al-quran dan Hadist. Disini terlihat jelas bahwa tanggungjawab Syiah Kuala untuk mengeluarkan fatwa hukum islam bukanlah perkara yang mudah atau sembarangan mengingat penerapannya berlaku kepada setiap warga yang berdomisili di wilayah kerajaan Aceh Darussalam. Termasuk juga terhadap keluarga atau kerabat kerajaan.
Dalam beberapa sumber sejarah di sebutkan bahwa, Syiah Kuala adalah nama qiyasan atau sebutan bagi ulama sebagai pemegang yudikatif pemerintahan. Ini pertama kali terjadi di kerajaan Aceh pada masa Syaikh Abdurrauf bin Ali al – Singkili sebagai wali al-Mulk pada masa itu. Adat dan hukum islam berjalan beriringan dalam pemerintahan Aceh karena adat Aceh dalam penerapannya semuanya diwarnai dengan nilai-nilai Islam yang tidak dapat di pisahkan; sehingga dalam pepatah adat di kenal dengan istilah “Hukom ngen adat lagèe zat ngon sifeut, tawiet han meulipat, tatarek han meujeu’eut”.
Menurut Dr. Teuku Muttaqin Mansur, M.H. (Direktur Geuthee Institute). Makna filosofis Adat bak poteumeureuhom, Hukom bak syiah kuala -Kanun bak putroe phang, Reusam bak laksamana. Pernah disepakati oleh para pemangku adat di Aceh yang di tuangkan dalam keputusan rapat kerja Lembaga Adat Kebudayaan Aceh (LAKA) (LAKA, sekarang berganti menjadi Majelis Adat Aceh (MAA)) di Banda Aceh pada tanggal 8-11 Oktober 1990. Hasil keputusan di sepakati bahwa hadih maja tersebut mengandung 3 makna yaitu berikut:
1. Bermakna simbolis: sebagai bentuk Politik Pemerintahan atau lambang pembagian kekuasaan (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, serta lambang kearifan dan kebijaksanaan).- Poteumeureuhom, mengandung makna sebagai pemegang kekuasaan Eksekutif dan kebesaran tanah Aceh.
- Syiah Kuala, mengandung makna ulama sebagai pemegang yudikatif.
- Putroe Phang, mengandung makna sebagai cendekiawan-Legislatif.
- Laksamana, mengandung makna keperkasaan dan kearifan dalam keragaman adat kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat.
- Adat Mahkota (Adat Meukuta Alam), merupakan produk adat yang berlaku umum bagi seluruh masyarakat Aceh yang telah melalui proses inventarisasi adat reusam, penentuan peraturan pelaksanaan (Kanun).
- Adat Tunah, produk adat yang telah ditentukan hukum Islam yang menjiwainya.
- Adat Mahkamah, produk hukum yang diatur ketentuan pelaksanaannya dalam bentuk Kanun.
- Adat Reusam, produk adat yang berupa keragaman adat yang ada dan berlaku di daerah setempat di seluruh Aceh.
Dewasa ini, meskipun alam pikir manusia sekarang lebih dominan ke arah pemikiran barat. Namun hadih maja seperti yang telah di sebutkan di atas masih tertancap dalam sanubari orang Aceh dan turun temurun masih menjadi pedoman serta pandangan hidup bagi masyarakat di Aceh. Wallahu’alam.
0 komentar:
Posting Komentar