Informasi tentang Merdeka Belajar, Program pelatihan Guru, dan Perkembangan dunia pendidikan

Selasa, 13 Juni 2023

NOVEL: DUA BENDERA Part. 1. Tertukar Nama

Ilustrasi (Sumber gambar: kompas)

NOVEL: DUA BENDERA

Part. 1.    Tertukar Nama

Seorang bocah kecil terjaga dari tidurnya tepat di tengah malam buta yang gelap dan pekat. Alam kala itu seakan diam senyap tak bernyawa. Hanya suara jangkrik dan sayup-sayup hembusan angin seakan sedang berbincang tentang sebuah bencana yang sengaja diciptakan oleh anak manusia. Si bocah tersebut duduk termangu di atas ranjang yang beralaskan seprai tikar. Ia memandang lepas ke arah jendela triplek yang tak berkosen.

“Muktar, tidurlah! Sudah malam. Besok engkau sekolah, Nak” 

Tiba-tiba suara yang lembut penuh kasih sayang memecah keheningan malam saat itu. “Ayah di mana, Bu?” Anak kecil yang dipanggil Muktar itu bertanya kepada wanita yang berdiri tepat di depan pintu kamarnya. 

“Ayah di ruang tamu, ia sedang menonton TV,”  jawab sang Ibu yang kemudian mengampiri anaknya sembari mengusap dahi dan menuntun sang buah hati  kembali ranjang.

Muktar adalah anak semata wayang dari pasangan suami-istri yang bernama Saffruddin dan Nurlela. Ia lahir di tanah Aceh pada tanggal 23 April 1983.

***

 Keluarga kecil itu tinggal di desa nan jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Kembang Jaya, begitulah orang-orang menyebut nama desa yang mereka huni. Banyak rumah-rumah kosong tak terawat di sana. Pemiliknya telah menghilang menghindar maut. Tapi..., banyak pula yang celaka karena sejak Mei 1989 tanah itu selalu membawa malapetaka bagi warga desa. Sebuah surat dari presiden negara bertuliskan “Daerah Operasi Militer” mengirim ribuan tentara untuk membasmi “Gerakan Pengacau Keamanan”. Dan lelaki muda di desapun banyak yang binasa, mereka mati muda sia-sia sebab dianggap mengacaukan pemerintah untuk menguras minyak bumi dan kekayaan alam lainnya. Dan tak jarang pula para pemuda desa yang tak berdosa dijadikan papan sasaran tembak para tentara agar bisa menjadi perwira. Bungong Jeumpa  yang sedang merekah pun dipetik paksa. Mereka terhempas ke tanah, kemudian layu dan terinjak-injak aib serta nista dunia.

Kembang Jaya merupakan nama desa yang tak ada didalam peta, tetapi ia pernah hidup puluhan tahun lamanya di Provinsi yang dulu pernah di juluki D.I Aceh. Di desa itu tak berlaku hukum negara. Si rimba adalah imam yang mengarah ke kiblat yang kuat dan yang punya senjata.

***

 “Ada banyak tentara di sekitar desa sebelah, Bu! Sepertinya ada operasi militer mendadak,  karena tadi sore selepas Ashar ada kontak senjata di desa itu,” desis Safruddin.

“Iya, Pak. Tadi sore di tempat pengajian Ibu pun dengar suara kontak senjata. Dengar-dengar dua tentara tewas tertembak ia, Pak?”  

Dalam sekejap percakapakan singkat sepasang suami-istri itu pun terhenti setelah terdengar suara tapak kaki manusia dari luar. Bunyi riuh sepatu bergerak menuju ke arah rumah mereka. Dan dari logat bahasa yang terdengar melalui hembusan angin malam di kala itu, sepertinya suara manusia yang berada tak jauh dari pekarangan rumah yang dihuni oleh keluarga Saffruddin, bukanlah penduduk atau warga desa setempat.

“Tok.. Tok... Tok...,” suara pintu rumah yang terbuat dari kayu berbunyi  setelah di ketuk dengan keras dari luar.

“Buka pintu!” teriakan angkuh di teras membuat penghuni rumah kecil tersebut terkejut. Dengan tergopoh-gopoh Nurlela yang sedang berbincang dengan Saffruddin berlari membuka pintu rumahnya. 

“Suami Ibu di mana?” tanya seorang pria yang  berpakaian loreng yang dilengkapi peralatan militer siap tempur yang biasanya digunakan ketika sedang beroperasi. Ia bersama rekan-rekannya yang berjumlah 20 orang sedang memburu pelaku penyerangan pos tentara yang telah menyebabkan 2 orang kawannya tewas sore tadi. 

 “Ada Pak didalam,” jawab Nurlela dengan nada suara yang terbata-bata. Raut wajahnya terlihat tegang. Pintu depan sengaja kecil dibuka oleh Nurlela dengan harapan, para tentara akan pergi dengan jawaban singkatnya tadi. Tapi tidak demikian ...

 Tanpa salam dan basa-basi, segerombolan pria berbaju loreng memaksakan diri mereka masuk ke rumah dengan dalih ingin menanyakan beberapa pertanyaan kepada penghuni rumah itu seputar kejadian tadi sore. Mereka menghampiri Saffruddin, satu-satunya lelaki dewasa yang menjadi kepala keluarga bagi Nurlela dan Muktar. Saffruddin sedang berjibaku dengan penyusunan rangkaian kata-kata  bahasa Indonesia yang baik dan benar  di ruang tamu.

Salah jawab, berarti tamat riwayat! Tidak ada hukum pidana dan perdata yang berlaku di tanah itu, orang-orang di kota menyebutnya “Operasi Jaring Merah ”. Mungkin sama halnya seperti jaring yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan di laut. Tak peduli ikan apa yang sedang dicari dan yang akan didapati nanti, tetapi yang pasti semua yang terperangkap di dalam jaring adalah ikan yang akan dijual dan dikonsumsi. Tak ada yang selamat!

“Bapak di mana tadi sore?”  tanya salah seorang tentara yang masuk kedalam rumah. Suaranya begitu keras, di arahkanya moncong senjata M-16 ke wajah Safruddin yang mulai gagap karena terbawa suasana tegang akan kesalahan yang sengaja diciptakan dan ditujukan kepadanya. Dari gerak-gerik tentara-tentara yang gagah berani tersebut, mereka sepertinya sangat yakin bahwa Safruddin terlibat dengan peristiwa penyerangan pos mereka tadi sore. Serdau-serdadu yang masuk kedalam rumah Saffruddin disaat jam istirahat berlakon layaknya cerita film The Last Samurai dimana tergambar begitu superiornya Militer jepang  pada masa kekaisaran Meiji yang baru mengenal senjata api Eropa memusnahkan samurai-samurai yang masih memakai bujur panah, tombak, dan pedang sebagai senjata. Tentara Jepang yang masih hijau dan baru mengenal senjata-senjata barat tersebut melupakan pengabdian para samurai yang telah berbakti ratusan tahun kepada sang kaisar negeri matahari tersebut. Melupakan jasa leluhur serta membinasakan saudara sendiri dengan alasan cinta tanah air menjadi pilihan ketika ingin mendapatkan sebuah julukan “negara moderen”.
“Ssa..Saya...” 

“Siapa Namamu?” bentak salah seorang tentara lain lagi. Belum selesai Saffruddin menjawab pertanyaan yang pertama, pertanyaan kedua menghujamnya diikuti dengan  tubrukkan popor senjata M-16. 

Saffruddin tersungkur jatuh ke lantai.

 “Saya Safruddin, Pak,” jawabnya sambil menahan perih dan luka di bagian kepala.

“Kenapa tidak kamu jawab dari tadi!” kali ini sepatu PDL mendarat tepat di wajah Safruddin. Istrinya, Nurlela, mencoba menghalangi para tentara tersebut melanjutkan aksi brutal mereka.

“Suami saya tidak salah, Pak! Dia di pasar ikan tadi sore,”  kata Nurlela dengan nada lengking. Ia berteriak keras sambil membangunkan suaminya yang telah roboh di lantai.”

Saffruddin kesulitan untuk menjelaskan bahwa ia sama sekali tidak terlibat dengan gerakan separatis yang tadi sore telah menyebabkan dua tentara negara tewas karena tubuh serta wajahnya telah berlumur darah. Disamping itu, ketidakfasihannya menggunakan bahasa Indonesia juga berpengaruh besar pada kecurigaan para tentara terhadap keterlibatan dirinya dengan gerakan yang dianggap mengacaukan keamanan. Hal itu tampak saat ia selalu lamban merespon pertanyaan para tentara negara sehingga ia dianggap ingin bersilat lidah. Dan yang terakhir adalah karena Saffruddin sama sekali tidak diberi kesempatan untuk mengutarakan pembelaannya, sebab pukulan demi pukulan membabi-buta mengarah ke sekujur tubuhnya Saffruddin berumur 32 tahun. Ia sehari-hari  bekerja sebagai penjual ikan di pasar. Tubuhnya tegap, panjangnya kira-kira 170 cm. Ia berkulit gelap, dan berambut cepak. Mungkin bentuk fisik Saffruddin juga menjadi bekal bagi para tentara negara untuk tidak lagi menimbang-nimbang alasan kecurigaan mereka secara logis. Ia tidak terlalu fasih berbahasa nasional karena faktor lingkungan dan tempat tinggalnya yang jauh dari kota. Ditambah lagi, latar belakang pendidikannya yang hanya tamatan SMP di desa.

“O.., ini orang yang kita cari, Komandan...,” bisik salah seorang tentara kepada komandannya yang memimpin operasi di rumah Saffruddin.

“Iya, kita angkut dia malam ini.”  

Mendengar percakapan dua tentara tersebut, Nurlela, istri Safruddin memberontak, Nurlela yang tujuh tahun lebih muda dari suaminya itu, meraung-raung meminta agar tentara-tentara yang masuk kerumahnya tidak membawa pergi sang suami bersama mereka, karena seperti kejadian yang sudah-sudah, tidak ada lelaki di desa itu yang pulang setelah di bawa pergi tentara negara. 

“Suami saya bukan Safruddin yang bapak-bapak cari. Dia bukan anggota separatis, Pak. Namanya saja yang mungkin sama dengan pelaku yang bapak-bapak curigai,” teriak Nurlela kencang mencoba meyakinkan para tentara  yang sedang beroperasi kecil-kecilan di dalam rumahnya.

Informasi yang berkembang mengenai nama Safruddin yang disebut-sebut sebagai salah seorang tertuduh hanyalah kabar burung belaka yang diperoleh dari lidah-lidah masyarat sekitar. Dan betapa malangnya nasib “Saffruddin” si penjual ikan karena ia satu-satunya lelaki dewasa yang memiliki nama tersebut di desa Kembang Jaya. Suami Nurlela itu dianggap anggota separatis atau gerakan pengacau keamanan tanpa ada dukungan bukti riil lainnya yang lebih kuat. Inilah hukum rimba. Tak perlu intrograsi dengan cara terhormat untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Mungkin Van Swieten  yang berasal dari benua yang berbeda lebih beradab dalam memperlakukan orang-orang Aceh yang di anggapnya pemberontak serta tak mau mengakui kedaulatan Belanda semasa perang Aceh dulu, dibandingkan dengan DOM dan jaring merahnya, yang dilemparkan sesuka hati oleh serdadu-serdadu bangsa di sungai yang dangkal.

***

 Mukter, anak semata wayang Saffruddin dan Nurlela yang tadinya tertidur pulas didalam kamar, terbangun setelah mendengar suara kegaduhan di ruang tamu. Ia terjaga karena para tamu yang berkunjung ke rumahnya mengamuk tak jelas. Bocah kecil tersebut disuguhi adegan kekerasan pemukulan sang ayah yang terekam langsung dengan mata telanjangnya di malam itu. 

Muktar berjalan sambil mengusap matanya yang masih berkunang-kunang sembari memanggil-manggil, “Bu, Ibu....” 

Muktar berjalan semponyongan meraba-raba marabahaya.

Ia terkejut dan spontan berteriak, “Ibu ..., Ayah..Ayah, siapa yang memukuli Ayahku?” bocah itu mencengkram lengan baju salah satu tentara di dalam rumahnya tanpa rasa takut, ia memberontak kuat semampunya, tapi tubuh kurusnya terhempas kesudut pintu setelah  tentara tersebut menamparnya. Dalam keadaan sempoyongan ia masih berusaha untuk bangkit tapi..., apalah daya, Muktar yang pada malam itu masih berumur enam tahun hanya bisa menjadi penonton yang budiman ....

Bocah yang dipanggil Muktar itu hanya bisa menangis bersama ibunya ketika melihat sang ayah yang sudah tak berdaya lagi terhimpit diantara kursi-kursi tamu yang terbuat dari rotan. Pukulan dan tendangan masih bertubi-tubi menghujam Saffruddin,  ayah satu anak yang malang, iba manusia tidak memihaknya malam itu.

***

Suara jeritan keras dari rumah kecil tersebut seakan tak terdengar oleh warga sekitar yang tuli atau sudah buta mata hatinya. Mungkin tak ada orang bodoh yang mau menghalangi kadatangan segerombolan manusia yang dipanggil ‘aparat’. Tak ada juga yang berani berjudi dengan nyawa. Atau mungkin saja masyarakat sekitar mengira para penghuni rumah tersebut sedang menonton “film laga” di TV yang memakai “soundsistem” sehingga menganggap biasa-biasa saja suara jeritan calon janda dan yatim di rumah tersebut.

***

Tubuh lemah Saffruddin diseret keluar dengan paksa. Tangisan dan raungan Nurlela serta anaknya, Muktar, tak menghalangi para prajurit gagah berani negara mengurungkan niat mereka untuk mengangkut Safruddin kedalam truk yang dijuluki dengan sebutan: ‘truk reo’ Truk yang didatangkan dari pos dua tentara yang tewas tadi sore, sepertinya salah alamat. Tak dapat Saffruddin pelaku penembakan pos, menangkap Saffruddin si penjual ikan pun jadi. Saffruddin diadili tanpa prosedur yang semestinya berlaku. Begitulah kiranya gambaran keegoisan manusia yang dilanda kebencian yang tak didasari oleh sebab apapun. Bagi mereka melampiaskan luapan emosi yang tak mengenal orang, tempat, dan waktu adalah lambang kesetiaan pada ibu pertiwi.

***

Muktar berteriak, “Ayahku, jangan bawa pergi Ayahku. Mau dibawa kemana Ayahku?” ia meraung-marung sembari menarik kaki salah seorang tentara dan mencoba menghalangi ayahnya di bawa pergi, walaupun Muktar, si bocah kecil itu, tersungkur kelantai,  tetapi ia masih mencoba menahan si tentara tersebut keluar membawa ayahnya.

“Awas kamu anak sialan, jangan halangi jalanku! Kuhabisi juga kamu nanti sekalian, biar mampus!” kata sang tentara yang menyeret Saffruddin sambil menyentakkan kaki kirinya yang dililit oleh Muktar.

Muktar, jagoan Safruddin, yang dibesarkan olehnya selama enam tahun dari hasil kerja kerasnya menjual ikan terpelanding sejauh dua meter. Ia menangis kencang meronta-ronta agar ayahnya tidak di bawa pergi. 

Tak ada kata yang bisa di ungkapkan dari luapan kesedihan anak semata wayang keluarga kecil itu. Pandangannya kosong kearah truk reo, ia terisak-isak memanggil nama ayahnya. Truk besar berwarna hijau telah pergi berlalu. Semakin jauh truk itu melaju, semakin keras pula jeritan Muktar memanggil nama ayahnya. 

***

Nurlela yang terpaku sedu di pintu depan rumahnya. Ia sudah tak berdaya.  Ia meronta-ronta sembari menyebut nama Allah. Dua anak beranak itu ber-istigfar serentak, mulut mereka berdua bergetar hebat. Nurlela merangkul anak semata wayangnya kencang.  sekencang-kencangnya.

Nurlela adalah ibu berumur 25 tahun. Sangat mudah menggambarkan sosok wanita yang satu itu, ia berbadan sedikit subur, tingginya kira-kira 160 cm, hidungnya mancung, dan kulitnya sawo matang. Pekerjaannya sehari-hari hanyalah mengurusi keluarga dan anak satu-satunya hasil pernikahannya bersama Saffruddin.

***

Alas rumah mereka yang hanya terbuat dari semen mentah, berdindingkan papan, dan beratap daun rumbia menjadi hakim bisu malam itu. Jam dinding di rumahnya menunjukkan pukul 02.30 WIB setelah Saffruddin di bawa oleh tentara negara. Saffruddin hilang dan tak ada yang tahu rimbanya hanya dalam waktu dua jam setengah.

***

Muktar, bangkit dengan tergesa-gesa. Matanya masih sembab. Dia menuju kamar orang tuanya, dibukanya lemari baju yang ada didalam kamar itu. Dia mengangkat sejumlah kitap-kitap berwarna dan dua Al-Quran dengan sangat hati-hati. Ditariknya sebuah laci lemari baju. Tangannya mengobrak-abrik laci lemari tersebut sampai sebuah benda yang dicarinya ia temukan. Sebilah Rencong tergengam kuat oleh jemari tangannya yang mungil. Ia memanggil-manggil nama ayahnya, “Ayah, Ayah...., siapa yang akan mengantarku ke sekolah besok? Siapa yang akan menemaniku bermain layang-layang di lapangan? Siapa yang akan membelikanku baju baru ketika lebaran nanti?” 

Ia duduk di lantai dengan menekukkan lutut dan menundukan wajahnya ke bawah. Tangannya menggengam kuat sebilah rencong yang di ambilnya dari dalam lemari tadi sambil merapi kepergian ayahnya. 

Nurlela masih saja menangis histeris melawan takdir. Ia mengambil jilbab yang tergeletak di atas kursi di ruang tamu untuk menyapu air mata yang keluar banyak sedari tadi. Matanya membengkak, merah, dan wajahnya tak bisa terlukiskan dengan kata-kata, remuk layaknya kanvas yang sudah patah. Ia menuju kamarnya untuk menenangkan Muktar.

“Bu, Ayah dibawa ke mana? Ayah salah apa, Bu? Mengapa dipukul?” tanya Muktar kepada Nurlela.

 Ia yang masih berumur enam tahun tak paham akan apa yang telah terjadi. Yang ia tahu hanyalah, ayahnya dipukuli sampai setengah mati lalu dibawa pergi.

    “Ayah tidak salah apa-apa, Nak,” jawab Nurlela. Ia mendekap erat tubuh Muktar. Air matanya masih saja terus berlinang.

***

Selang beberapa saat, tetangga dekatnya, Rosidin pria yang berumur 50 tahun mendatangi rumah Nurlela. 

“Ada kejadian apa, Lela?” tanya Rosidin sambil melipat dan menaikkan kain sarungnya. Ia berjalan berlahan ke arah rumah Nurlela. Lagaknya seperti sama sekali tidak mendengar tariakkan histeris anak beranak di samping rumahnya tadi.

“Suamiku, Pak! Dia dibawa tentara,” jawab Nurlela dengan nada yang tersendat-sendat.

“Kenapa dengan dia? Apakah dia terlibat dengan gerakan separatis yang menembaki pos tentara tadi sore? Karena kudengar-dengar  nama Safruddin disebut-sebut tadi sore menjelang magrib di pos ronda depan.” 

 Rosidin paham betul apa yang telah terjadi, setidaknya itu bisa tersirat dari pertanyaannya barusan.

“Tidak, Pak. Bang Saffruddin sama sekali tidak tahu menahu soal itu. Dia di pasar ikan dari pagi hingga sore tadi. Justru, dia menanyakan seputar kejadian itu pada saya tadi saat kami sedang menonton TV,” jawab Nurlela yang yakin benar bahwa suaminya tidak terlibat. 

Nurlela kembali merajang hebat seolah-olah tak percaya akan kejadian yang telah menimpa suaminya. Rosidin mencoba menenangkan Nurlela, “sudah, sudah, masuk dulu. Sudah malam sekali ini. Besok kita cari suamimu! Berdoalah semoga dia selamat,” Rosidin mencoba menghibur Nurlela dengan basa-basinya.

***

Hanya ada empat rumah warga sekitar yang mengapit tempat hunian Nurlela. Rumahnya bersebelahan dengan rumah beton milik Rosidin, tetangga terdekatnya yang sekarang telah menganggur. Di samping kiri, ada rumah semi permanen milik Burhan yang bekerja sebagai tukang bangunan. Di belakang, ada sebuah rumah panggung milik kakak beradik, yang bernama Badriah dan Qayriah yang bekerja sebagi petani. Sedangkan selebihnya adalah kebun kosong milik warga sekitar yang dipagari kawat bronjong dan dahan bambu kering. Di sekitar rumah Nurlela juga terdapat beberapa kuburan “Ulama Keramat” yang dipayungi pohon-pohon bambu yang berbaris rapi. Berbagai macam rupa jenis pepohonan yang tinggi dan besar membuat tempat sekitar Nurlela tinggal itu layak disebut hutan belukar. Meskipun tidak terlalu lebat, tapi hutan tersebut mampu menutupi jarak pandang mata dari kejahuan. Tempat itu pun begitu gelap di malam hari karena tak ada satu pun lampu penerang di sekitar jalan.

***

Selang beberapa saat, Rosidin keluar dari pekarangan rumah Nurlela. Istri Rosidin, Bu Saudah, Badriah dan Qayriah melenggak-lenggokan kepala mereka agar dapat melihat isi rumah Nurlela yang sudah kocar-kacir.

 “Kenapa? Kenapa, Pak?” tanya Bu Saudah, Qayriah, dan Muslimah yang dilanda penasaran silih berganti. 

“Saffruddin dibawa tentara,” jawab Rosidin singkat.

“O.. , yang benar saja. Jarang sekali dan mustahil orang yang di bawa tentara pulang lagi ke rumah.” bisik Badriah, buk Saudah, dan Qayriah sesama mereka

“Ayo pulang ke rumah masing-masing! Tunggu apa? Mau di bawa juga?” kata Rosidin.

Percakapan tetangga-tetangga Nurlela tadi terhenti saat kumandang Adzan Shubuh terdengar sahut menyahut bergantian . Tinggallah Nurlela sebatang kara sejak malam itu.

--- Bersambung

NOVEL: DUA BENDERA Part. 1. Tertukar Nama Rating: 4.5 Diposkan Oleh: TABINA GURU

0 komentar:

Posting Komentar