Informasi tentang Merdeka Belajar, Program pelatihan Guru, dan Perkembangan dunia pendidikan

Rabu, 05 Juli 2023

NOVEL: DUA BENDERA Part. 2

NOVEL: DUA BENDERA Part. 2

oleh: Firdaus

 

NOVEL: DUA BENDERA Part. 2

Mencari Jarum Dalam Tumpukan Jerami


“Muktar, bangun, Nak. Shalat shubuh dulu,” tangan Nurlela menyentuh lembut pundak anaknya.” 

“Ayah..Ayah, di mana, Bu? Sudah pulang belum?” tanya Muktar  pada saat terjaga dari tidur pendeknya.

 “Nanti sore Ayah pulang. Ayo shalat dulu. Kita berdoa kepada Allah agar Ayah selamat,” kata Nurlela mencoba menenangkan batin anaknya.

Shalat Shubuh kala itu, Saffruddin tak lagi menjadi imam mereka berdua

***

Mentari pagi terbit bersama kerumunan masyarakat yang heboh dengan kejadian semalam di rumah Nurlela. Tapi, bagi Nurlela hal yang pertama kali yang harus ia lakukan adalah mencari keberadaaan suaminya. Toh, warga-warga yang datang ke rumahnya bukannya ingin membantu ia untuk mencari keberadaan Saffruddin, tapi para warga itu ingin berbagi cerita sesama mereka layaknya sebuah acara reuni sekolahan.

 Nurlela membawa serta anaknya, Muktar, menuju ke kantor kepala desa yang berada tak jauh dari kediaman mereka untuk melaporkan berita duka semalam.
Sesampainya ia di sana...

 “Assalammualaikum, Pak. Saya ingin berjumpa dengan Bapak kepala desa,” sapa Nurlela lembut kepada para pegawai desa yang sedang bercengkrama dengan beberapa rekannya “Ada perlu apa, Lela?” tanya seorang pria setengah bawa yang sedang memengang sebuah cangkir ditangan kanannya. Lelaki itu sedang minum kopi bersama beberapa rekanya. Ia mengenal dekat dengan Nurlela dan tahu betul apa yang telah terjadi semalam di rumahnya, tapi karena lelaki separuh baya tak mau berurusan terlalu jauh dengan masalah yang menimpa Nurlela, maka ia pun tak terlalu mengubris kedatangan wanita itu bersama anaknya.

“Mau lapor masalah kejadian semalam, Pak. Bang Saffruddin belum pulang sampai sekarang,” jawab Nurlela singkat yang menyadari kedatangannya seperti tidak diharapkan.

 “Tunggu sebentar,”  lanjut lelaki tersebut.

Tak lama kemudian, Nurlela dan anaknya, Muktar, dipersilahkan masuk kedalam ruangan istimewa untuk menjumpai sang kepala desa di desa yang  ia huni selama puluhan tahun.
“Silahkan duduk, Bu,” Pak kepala desa tersenyum lebar. Tangan kanannya menunjuk ke arah bangku tamu. 

“Iya terima kasih, Pak.” 

Nurlela menceritakan panjang lebar kronologis kejadian yang menimpa keluarganya semalam dengan harapan ada sedikit jalan keluar mengenai keberadaan suaminya, atau setidaknya pejabat desanya itu bisa memberikan masukan tentang apa yang harus ia lakukan selanjutnya untuk mencari Saffruddin. 

Akan tetapi....., bayangan akan adanya harapan Saffruddin kembali sangatlah jauh, sirna cahaya itu, ketika sang lurah berkata, “Maaf, Bu. Kalau masalah itu bukan wewenang kami. Saya kurang paham dengan masalah tersebut. Coba Ibu mengadu ke kantor polisi.” 

Jawaban yang keluar dari mulut sang kepala desa meremukkan hati Istri si penjual ikan itu. Ia menatap hampa ke arah foto presiden dan wakil presiden yang menempel di dinding kantor kepala desa. Entah apa yang ada didalam benak Nurlela saat memandangi dua gambar tersebut. Mungkin ia hanya berharap bahwa keadilan dan kemanusian yang beradap sesuai dengan sila ke-2 “Pancasila” memang benar-benar ada!

Setelah terdiam sesaat, kemudian Nurlela berkata, “Baiklah, Pak. Terima kasih atas waktunya.”

Nurlela menebarkan senyum getirnya. Ia mengenggam erat tangan Muktar yang kemudian pergi keluar ruangan sang lurah.

***

Nurlela bersama Muktar berjalan menelusuri jalan-jalan sunyi yang dikelilingi sawah hijau dan pohon-pohon asam besar-besar. Tampak dari kajahuan beberapa petani sedang menginjak-injakkan kaki mereka di sawah, adapula yang sedang menarik seutas tali yang di ikat pada leher kerbau dan dibawa berjalan berputar-putar didalam sawah. 

Muktar hanya terdiam sedari tadi pagi. Ia yang dulunya ceria, penuh semangat, dan sedikit nakal, berubah drastis semenjak kehilangan ayahnya beberapa jam yang lalu. Lelaki bertubuh mungil yang berumur 6 tahun itu baru saja bersekolah di Sekolah Dasar di desanya. Rasanya baru seminggu yang lalu sang ayah membelikan seragam putih, celana pendek merah, dan topi merah putih bertuliskan, “Tut Wuri Handayani” untuknya. Buku tulis yang ada di rumah masih di coret-coretnya dengan huruf Alphabet A-B-C-D... di hari-hari pertamanya bersekolah. 

Muktar kecil, memiliki wajah yang mirip dengan ibunya, dan mungkin tingginya sama seperti ayahnya jika ia besar nanti.

Di tengah perjalanan, Nurlela mencoba memecah kebisuan, “Lelahkah engkau, Anakku?” Muktar menghentikan langkah kecilnya, “Tidak, Bu, Ayah kapan pulang?”

 Ia mengapit-ngapit ngengaman tangannya yang diregam Nurlela.  

Lagi-lagi pertanyaan sama yang ia tanyakan. Nurlela bigung ingin menjawab apa, tapi ia mencoba menghibur anaknya, “Ayah, hanya diperiksa, Nak. Mungkin nanti sore beliau sudah pulang.”

“Lalu kita mau ke mana, Bu? Tadi kenapa Ibu menanyakan ayah di kantor lurah?” tanya Muktar secara beruntun. Pertanyaan Muktar tersebut membuat Nurlela menarik nafasnya dalam-dalam, ia mencoba mengalihkan pembicaraan. 

“Aduh, Muktar bolos sekolah ya hari ini? Ibu lupa mengabari Bu Rahmi. Ya sudah, besok Ibu ke sekolah untuk memberitahu beliau.” 

Muktar tak membalas pernyataan Nurlela. Ia lagi-lagi hanya terdiam.

Mereka berjalan hingga ke persimpangan jalan dimana angkutan umum biasanya beroperasi. Setengah jam kira-kira perjalan mereka menuju ke kantor polisi terdekat dari desanya. Sesampainya mereka di sana. Nurlela yang memakai baju seadanya, sendal jepit, dan jilbab pudar memberanikan diri untuk masuk ke kantor polisi tersebut.

“Assalammualaikum, Pak,” salam pertama Nurlela ketika memasuki kantor polisi.

“Walaikum Salam,” jawab seorang polisi yang sedang sibuk bersama mesin tiknya. Matanya melotot ke arah kertas yang ada dalam lipatan mesin tik. 

“Ada yang bisa kami bantu, Bu?” tanya polisi tersebut. 

“Begini, Pak.....” 

Nurlela menceritakan lagi peristiwa yang semalam terjadi di rumahnya. Dan polisi yang tadinya sibuk dengan mesin tiknya memandang ke arah Nurlela sambil berkata, “Begini saja Bu, sekarang Ibu masuk ke ruang sebelah sana, coba Ibu laporkan pada Pak Kapolsek,” Tambah polisi itu.

Nurlela dan Muktar bangkit dari tempat duduk mereka di ruang lapor menuju ke ruang sebelah dimana ia bisa berjumpa dengan pak Kapolsek. Saat dijumpai, pak kapolsek sedang membaca koran sambil bersantai di dalam ruangannya. Kemudian Nurlela lagi-lagi menceritakan kronologis kejadian malang itu kepada sang kepala kepolisan di tingkat kecamatan yang juga bertanggung jawab untuk mengayomi warga desa Kembang Jaya.  

Setelah mendengar aduan Nurlela, beliau kemudian menanyakan beberapa pertanyaan seputar kejadian, seperti: waktu dan ciri-ciri para pria yang datang menjemput suaminya, baju yang mereka kenakan, dan waktu kejadian. Pertanyaan yang paling mencolok adalah apakah benar suami ibu terlibat dengan gerakan separatis? Jelas Nurlela menjawab pertanyaan pak Kapolsek dengan kata: “TIDAK!”.

Sebelum Nurlela beranjak pulang, pak Kapolsek memberikan sedikit angin segar kepadanya.

 “Nanti kami usut dulu kasus ini, setelah kami mendapatkan informasi terbaru, kami akan beritahukan Ibu.” 

Begitulah kiranya pak Kapolsek merespon aduan Nurlela yang datang bersama anaknya, Muktar,  yang mulai hari itu sudah menyandang status janda dan yatim.

Mereka berdua pulang ke rumah dengan membawa rasa ketidakpuasan akan pelayanan pegawai pemerintah. Mereka kecewa akan tanggapan yang begitu dingin dari para pegawai tersebut.

Muktar terlihat kelelahan karena kurang tidur. Ia pucat pasi. Nurlela menggendong Muktar dengan penuh kasih sayang. Keringat bercucuran keluar lebat dari pori-porinya.

Setelah turun dari angkutan umum, mereka harus berjalan kaki kira-kira 2 Km menuju ke rumah. 

Sesampai di rumah, Rosidin tetangga Nurlela, menanyakan perkembangan berita suaminya, “Bagaimana Lela, ada kabar tentang Saffruddin?” ia membuka lembaran koran yang kebetulan sedang dibacanya di teras rumah. 

“Lela..lela, baca ini!” Rosidin menyodorkan koran kepada Nurlela.

“Lihat, salah satu pelaku penyerangan pos tentara kemarin sudah tertangkap, tersangka berumur 32 tahun dan bernama Saffruddin,” Rosidin memperlihatkan koran dan membaca kata-perkata yang tertulis di koran itu. 

“Bukankah sepertinya itu suamimu?” lanjut Rosidin. 

Nama beserta ciri-ciri pelaku dan alamat pelaku mengarah kepada Saffruddin, suami Nurlela.
Nurlela juga turut hanyut membaca setiap baris kata yang tertulis di koran itu, air matanya menetes tak terbendung, dalam hatinya, ia bergumam, “Semudah itukah menjadi tersangka terpidana kejahatan di negeri ini.”

***

Istri yang taat beragama itu berharap masih ada harapan untuk menunggu suaminya pulang. Nurlela masih setia menanti Saffruddin kembali ke rumah bersama sebuah balutan senyum kehangatan seperti di hari-hari biasa dulu saat ia pulang bekerja. 

Nurlela melihat ke arah sepeda motor tua yang biasanya dipakai Saffruddin ketika pergi ke pasar untuk menjual ikan. Sepeda motor tersebut seakan-akan juga ikut merasakan kesedihan yang dalam karena kehilangan sang pemilik.

Sudah hampir tiga hari Nurlela tidak mendapat kabar mengenai suaminya. Ia gelisah bukan main. Nurlela seperti berada di alam mimpi yang menolak kehilangan sang suami di alam nyata.

 Pagi itu pukul 07.30, Nurlela mengantar Muktar ke sekolah. Anak lelaki satu-satunya tersebut masih saja terlihat murung. Tak ada kecerian terpancar dari wajahnya walau kemana pun ia pergi. Di sekolah, di tempat pengajian, bahkan ketika bermain bersama teman-temannya sekalipun, Muktar tetap saja tak banyak berbicara. Kata-kata yang selalu ia keluarkan dari mulutnya adalah ayah dimana dan kapan pulang?

***

Muktar berdiri lama di depan pagar sekolah. Ia berharap bisa melihat lagi ayahnya di warung kopi yang terletak tepat di depan kelasnya. Disitu, sang ayah dulunya sering menghabiskan beberapa batang rokok kretek dan secangkir kopi seusai mengantarnya ke sekolah.

“Nak, lonceng masuk!” kata Nurlela yang membangunkan Muktar dari lamunannya.
“Iya.., Bu,” jawab Muktar singkat dan sedikit kaget. 

Muktar menyalami tangan ibunya dan berjalan menuju ruang kelasnya.

Setelah mengantar Muktar kesekolah, Nurlela masih belum mengurungkan hasratnya untuk mencari sang suami tercinta. Kala itu, ia tak mau lagi menunggu kabar dari pihak yang berwajib. Nurlela memberanikan diri melangkahkan kakinya ke pos tentara yang ia yakini  bahwa Saffruddin dibawa oleh para prajurit yang bermaskas di sana. Harapannya pun tidak terlalu muluk-muluk. Seandainya ia tak bisa menemukan Saffruddin dalam keadaan bernyawa, setidaknya jenazah suaminya bisa ia bawa pulang ke rumah atau biar pahit sekalipun, setidaknya  ia tahu di mana makam Saffruddin.

***

Di persimpangan jalan menuju terminal transportasi umum, Nurlela berjumpa istri Rosidin, Bu Saudah. Wanita yang sudah berumur genap 40 tahun tersebut dikenal suka menyebarkan berita-berita tak sedap untuk dijadikannya bahan lelucon ketika makan siang bersama tetangga-tetangga yang punya hobi yang sama dengannya, yaitu: menggosipi orang lain!

“Mau ke mana, Lela? Kok tergesa-gesa sekali sepertinya?” tanya wanita yang sudah tua bila dilihat dari akta kelahiran, tapi penampilan dan make up tebalnya persis anak SMP yang baru saja lulus ujian masuk SMA.

Nurlela terpaksa melayani pertanyaan Bu Saudah tersebut, “Ke pasar, Bu. Saya mau belanja sedikit untuk makan siang.” 

“Oh, gomong-gomong bagaimana berita mengenai suamimu?” Apa sudah ada kabar?” tanya buk Saudah lagi, badannya bergerak ke kiri-kanan lambat karena berat badannya yang overweight tak menunjukkan kelincahan pinggulnya saat ia ayunkan.

“Belum, Bu! Mungkin setelah dari pasar saya mau ke pos tentara, siapa tahu ada kabar di sana.”

“Iya..iya.. hati-hati, ya! Semoga ketemu suamimu. Oh ya, Awas jangan tergoda kegantengan dan kegagahan tentara-tentara di sana,” Bu Saudah bergurau plus menyindir serta menyelintir.

Nurlela tidak menanggapi pernyataan Bu Saudah. 

“Saya pergi dulu ia, Bu. Permisi.. Assalammualaikum.” 

“Walaikumsalam, eehm..ehm....,” jawab Bu Saudah sambil menggerutu. Lem karet seperti menempel ditenggorokannya saat menjawab salam dari Nurlela.

Kepedihan yang dirasakan oleh Nurlela terasa begitu berat karena tak ada seorang pun kerabat yang ingin membantu mendampinginya untuk menuntaskan misteri hilangnya Saffruddin. 

***

Bu Saudah yang telah lama menjadi tetangga Nurlela enggan berbahasa yang halus atau sekedar menuturkan kata-kata yang arif sebagai wanita yang dituakan dan dianggap kakak oleh Nurlela. Sebaliknya, Bu Saudah justru  tak habis-habis menggunjing Nurlela. Dan saat Saffruddin hilang pun, wanita tua itu terlihat biasa-biasa saja dan malah mengklaim bahwa benar adanya Saffruddin terlibat dengan penembakan pos tentara tempo hari. 

Dan ditambah lagi dengan peranggai senewen dua kakak beradik, Badriah dan Qayriah yang memiliki sifat tak jauh beda dengan tetangga dekat di samping rumah Nurlela. Dua kakak beradik itu bisa dikatakan “pertu” alias perawan tua karena sampai hampir menginjak umur 33 dan 35 tahun pun, keduanya masih saja perawan. Tak ada seorang pun lelaki yang waras dan beriman mau meminang dua “pertu” itu sebab keduanya memiliki mulut bagaikan srigala yang sering begadang di malam hari.

Burhan yang sudah lama menduda terlalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai kuli bangunan. Ia tak punya waktu untuk sekedar berbasa-basi dengan Nurlela. Pria itu sama sekali tidak peduli akan keadaan di sekelilingnya. Ia juga sangat jarang berkumpul dengan masyarakat di desa Kembang Jaya. Pernah suatu hari, ayah dan ibu Qayriah dan Badriah meninggal karena disambar petir ketika sedang mengairi air di sawah. Saat itu hujan dan petir berdengung hebat, tapi pasangan suami-istri yang sudah sama-sama renta itu tak menghiraukannya sehingga mereka berdua pun mati kaget!

 Burhan tak sehari pun menampakkan batang hidungnya untuk melayat atau ikut tahlilan bersama kaum lelaki lainnya yang ada desa Kembang Jaya di rumah tetangga Qayriah dan Badriah. Duda itu depresi berat setelah istri dan dua anak lelakinya meninggal hanyut di laut saat bertamasya di pantai dulu. Ia tak mampu menyelamatkan keluarganya dari air pasang yang tiba-tiba datang menjemput keluarganya ke alam kubur kala itu.

***

Keluarga Saffruddin tinggal di pinggir pantai. Setelah menikahi Nurlela barulah Saffruddin pindah ke desa Kembang Jaya dan menetap di rumah Nurlela.

 Ayahnya yang bekerja sebagai nelayan telah lama meninggal dunia. Sedangkan ibunya sudah tua dan tak mampu lagi berbicara dengan waras. Beliau tinggal di sebuah rumah panggung tepat di pinggir pantai sebatang kara. Beliau bertahan hidup dari belas kasihan para nelayan yang sering melaut di sekitar rumah panggungnya dan dari sedikit pemberian Saffruddin yang sesekali menjenguk sang ibu saat ia ingin mengambil atau membeli ikan pada nelayan yang melabuhkan kapal di dekat rumah orang tuanya. 

Pada saat ibunya masih lumayan waras, Saffruddin pernah mengajak beliau untuk tinggal bersamanya di rumah Nurlela, tapi sang ibu menolak ajakan Saffruddin karena beliau sangat berat untuk meninggalkan rumah panggung satu-satunya hasil kerja keras ia dan almarhum suaminya dulu. 

Setiap hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, Saffruddin, Muktar, dan Nurlela selalu bertamu dan menjenguk beliau, tapi sang ibu selalu berbicara ngawur dan malah menanyakan siapa kalian?
 Saffruddin sebenarnya memiliki satu orang saudara laki-laki yang bernama Mahmud, namun Mahmud tak jelas keberadaannya. Kabar terakhir yang diterima Nurlela, Mahmud baru saja kawin lagi dengan istri keempatnya di kota Sigli, tapi kabar tersebut pun masih simpang siur.

***

Tibalah Nurlela di pos tentara yang ia tuju setelah sekitar 45 menit melaju bersama mobil angkutan umum yang masyarakat di sana menyebutnya ‘moto labi-labi’. Sesampai di sana, Nurlela disapa oleh seorang tentara yang sedang bermain gitar, “Cari siapa, Bu?” tanya tentara tersebut yang sejenak berhenti memetik gitarnya.

“Suami saya, Pak,” jawab Nurlela dengan nada datar. 

“Apa? Siapa nama suami, Ibu?” lelaki yang umurnya masih 20-an tersebut bertanya santai dan melanjutkan lagi memetik gitarnya.”
“Saffruddin.” 

Nurlela menceritakan petaka yang menimpa keluarganya beberapa malam yang lalu kepada lelaki tersebut.

“Tidak ada suami Ibu di sini!” si pria itu memotong cerita Nurlela.

“Tapi saya merasa suami saya ada di sini, Pak.” 

“Itu...Itu.., Pak......!  Itu yang tempo hari membawa suami saya!”

Nurlela  menjerit ketika memanggil pria yang berseragam militer lengkap bersama tas besar di pundaknya. Pria tersebut berjalan menuju arah ke belakang. Terlihat dari kejahuan ada puluhan dari mereka yang berpenampilan sama. Nurlela ingat betul wajah salah satu tentara yang menyeret suaminya tempo hari.

“Bu, mereka sudah habis masa dinasnya di sini. Mau pulang kampung, mereka!” sahut lelaki tersebut seperti meledek Nurlela.

“Boleh saya jumpai bapak itu? Saya ingin menanyakan keberadaan suami saya,”” Nurlela sedikit memaksa dan terlihat begitu panik.

“Aduh Bu, mereka tidak bisa diganggu karena di belakang ada upacara perpisahan. Sebaiknya, Ibu pulang saja, suami Ibu tidak ada disini!” bentak tentara yang di ajak berbicara oleh Nurlela.

Pria muda tersebut sepertinya sudah mulai jengkel dengan pertanyaan dan kelakuan Nurlela.
“Sudah, sudah! Ibu keluar sekarang....! Kalau di lihat atasan saya, Ibu bisa ditangkap karena di tuduh sebagai gerakan pengacau keamanan, mau?” ancam pria itu.

Nurlela menatap kosong ke arah lapangan di balakang pos dari kejahuan. Ia terdiam dan tubuhnya berlahan-lahan ke luar dari pintu garbang pos tentara itu bersama ketidakberdayaannya menemukan sang suami tercinta.

Wanita malang itu berjalan perlahan. Keputusasaan terlihat jelas dari suramnya wajahnya. Tubuhnya tak bersemangat, kepalanya menunduk ke bawah tak menoleh ke kiri-kanan,dan pandangannya hampa.
***
Nurlela tak kuasa melawan hukum rimba yang berlaku di tanah kelahirannya. Ia juga tak mampu melawan kezaliman tersebut dengan tenaganya. Hal satu-satunya yang ia mampu lakukan saat itu hanyalah berdoa kepada Allah SWT agar diberi kekuatan untuk memikul beban yang secara mendadak menimpanya. Nurlela tak tahu harus mengadu ke mana lagi.

Semua orang yang ia temui seakan tak mau ikut campur dengan musibah yang menimpanya. Bahkan warga desanya sendiri selalu menghindar setiap kali berpas-pasan dengannya. Mereka menghindar dari Nurlela karena tak mau berurusan dengan “aparat negara”. 

Masyarakat di desa Kembang jaya dilanda trauma yang amat kronis. Pintu-pintu rumah penduduk di sana akan tertutup rapat-rapat ketika mendengar suara laju truk reo, suara bentakan dari logat bahasa yang asing di telinga mereka, dan suara-suara letupan senjata.

Setiap melihat ada segerombolan militer negara masuk desa, masyarakat desa Kembang Jaya, khusunya laki-laki akan lari terbirit-birit untuk menghindar dari siksa dan azab dunia.

Bersambung ...

NOVEL: DUA BENDERA Part. 2 Rating: 4.5 Diposkan Oleh: TABINA GURU

0 komentar:

Posting Komentar