Aceh Pungo Alias Atjeh Moorden Alias Aceh Gila
obrolanguruku.blogspot.com - Aceh Pungo Alias Atjeh Moorden Alias Aceh Gila - Pungo adalah bahasa Aceh, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya gila. Aceh Pungo adalah istilah yang dilekatkan kompeni Belanda karena kesalnya mereka dalam menghadapi perjuangan rakyat Aceh di kala itu.
Perlu diketahui bahwa ketika Belanda menjajah nusantara sejak tahun 1596 hanya ada dua
perang yang membuat Belanda mengalami kerugian besar hingga mencapai sekitar 43 juta Golden yaitu Perang Diponegoro dan perang Aceh,
Saat meletusnya perang Aceh, Belanda benar-benar kewalahan menghadapi perlawanan para pejuang Aceh yang meletus sejak tahun 1873, berbagai upaya telah dilakukan oleh Belanda
untuk mengakhiri perang, baik dari pihak Aceh maupun dari pihak Belanda itu sendiri.
Menjelang akhir abad 19 dan pada awal abad 20 Belanda melaksanakan suatu tindakan
kekerasan melalui sebuah operasi pasukan elit yang mereka namakan Korps Marechaussee te Voet, di Indonesia dikenal sebagai Marsose atau disebut juga tentara bayaran. pasukan ini berasal dari serdadu-serdadu pilihan yang memiliki keberanian dan semangat tempur yang tinggi dengan tugas untuk melacak dan mengejar para pejuang Aceh melawan Belanda ke segenap pelosok daerah, mereka membunuh semua pejuang Aceh yang berhasil ditemukan atau setidaknya membuang keluar daerah Aceh dengan cara Kekerasan
Tindakan kekerasan yang dilakukan Belanda ini bertujuan untuk menakuti para pejuang dengan harapan agar para pejuang Aceh segera menghentikan perlawanan kepada Belanda, namun ternyata akibat dari tindakan kekerasan tersebut telah menimbulkan rasa benci
dan dendam yang sangat mendalam bagi para pejuang Aceh yang tersisa, lebih-lebih bagi keluarga mereka yang ditinggalkan untuk membalas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Belanda.
Menghadapi kekerasan dari Belanda, para pejuang Aceh melakukan suatu cara yang kemudian diistilahkan oleh Belanda dengan nama Atjeh Moorden atau Aceh pungo (gila). Atjeh Moorden secara harfiah berarti pembunuhan Aceh, suatu pembunuhan khas Aceh yang orang Aceh sendiri menyebutnya poh Kafé, di sini para pejuang Aceh tidak lagi melakukan peperangan secara berkelompok namun secara perseorangan dengan tekad kuat seseorang melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda, Apakah ia sedadu, orang dewasa perempuan atau anak-anak sekalipun menjadi sasaran untuk dibunuh dan tindakan pembunuhan nekat ini dilakukan dimana saja di jalan-jalan, di pasar, di taman-taman ataupun pada markas Belanda sendiri.
Pembunuhan khas Aceh ini adalah sikap spontanitas rakyat yang tertekan akibat tindakan kekerasan yang dilakukan pasukan marsose, sikap ini juga dijiwai oleh semangat ajaran Perang Sabil Untuk poh kafé atau bunuh kafir (bahasa Indonesia). Disamping itu juga adanya suatu keinginan untuk memperoleh mati syahid dan untuk membalas dendam atau “tueng bila” (Bahasa Aceh) sebuah istilah yang menggambarkan betapa membara semangat yang dimiliki rakyat Aceh kala itu.
Akibat pembunuhan nekat yang dilakukan rakyat Aceh tersebut menyebabkan para pejabat Belanda yang akan ditugaskan ke Aceh berpikir berkali-kali dan ada diantara mereka yang tidak mau mengikutsertakan anak istrinya bila bertugas ke Aceh, para pejabat Belanda di Aceh selalu membayangkan dan memikirkan bahaya Aceh moorden tersebut; mereka tidak habis pikir Bagaimana hanya dengan seorang saja dan bersenjata Rencong yang diselipkan dalam selimut atau bajunya para pejuang Aceh berani melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda.
Oleh karena itu, diantara orang-orang Belanda ada yang menyatakan tindakan yang para pejuang Aceh itu adalah tindakan gila alias Pungo dalam bahasa Aceh yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang yang waras, maka timbullah istilah dikalangan orang Belanda yang
menyebutnya Moorden (Gila) bagi Pejuang Aceh.
Istilah orang Aceh gila yang kemudian populer dengan sebutan Aceh Pungo atau Aceh gila dalam pengkajiannya, pihak Belanda mengadakan suatu penelitian psikologis terhadap orang-orang Aceh dalam hal ini terlibat dokter ahli kejiwaan (penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan ke Bumiputera dan Arab. Hasil penyiksaan itu menyebutkan bahwa perbuatan tersebut termasuk gejala gejala sakit jiwa suatu kesimpulan yang mungkin mengandung kebenaran tetapi juga terdapat kekeliruan mengingat ada gejala-gejala yang tidak terjangkau oleh dasar-dasar pemikiran ilmiah.
Dalam Aceh Morgen tersebut menurut Dokter Jiwa Belanda, segala tindakan yang dilakukan rakyat Aceh itu adalah perasaan tidak puas akibat mereka telah ditindas oleh orang Belanda karena itu, jiwanya akan tetap melawan kepada Belanda. Atas dasar kesimpulan bahwa banyak orang sakit jiwa di Aceh maka pemerintah Belanda kemudian mendirikan rumah sakit jiwa di Sabang; Doktor Latumenten yang menjadi kepala Rumah Sakit Jiwa di Sabang kemudian juga melakukan studi terhadap pelaku-pelaku pembunuhan keras Aceh yang oleh pemerintah Belanda mereka itu diduga telah dihinggapi penyakit saraf atau penyakit gila, namun hasil penelitian Dr. Latumenten tersebut menunjukkan bahwa semua pelaku itu adalah orang-orang normal dan yang mendorong mereka melakukan perbuatan nekat tersebut adalah karena sifat dendam kepada Belanda atau dalam bahasa dikenal dengan istilah “tuengbila”.
Sumber: nyakcut.com
Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=nfNAks3XqbE
0 komentar:
Posting Komentar